Ketika Kebiasaan Ngaji di Surau Mulai Redup
![Image](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1csVJCb5L5KdxtKtiVJmLbxQm4GNNDMLsmqA47v_W93C7sgFWxxsZf12MFW4zRy-D5Dpag3QL5me7gCWvLBVXkJLHyEx4g31NBnkfD91V2XiOGdzLt7oDS0iDme0WDzxqq3fUEUNbp53M/s320/Mengaji.jpg)
Surau atau langgar adalah pesantren kecil. Suasananya menjadi sebuah nostalgia romantis bagi orang-orang yang pernah menjadi santri langgaran sebelum tahun 90-an. Menjelang maghrib, anak-anak desa usia lima sampai belasan tahun, datang ke surau-surau. Usai shalat maghrib mereka mengaji al-Qur’an. Ada yang menghafal huruf Hijaiyah, ada yang mulai mengeja suku kata, ada yang mulai membaca ayat-ayat pendek, adapula yang sudah lancar membaca al-Qur’an. Satu per satu maju ke hadapan gurunya untuk disimak, sementara yang lain membaca sendiri-sendiri. Suara gaduh saling bersahutan, antara yang menghafal nama huruf, yang mengeja bunyi huruf, yang mengeja rangkaian huruf, yang sudah lancar membaca al-Qur’an, ditambah dengan bentakan guru langgar yang seringkali melengking saat santrinya salah membaca. Waktu isya’ tiba, pengajian al-Qur’an dengan segala macamnya itu selesai. Usai shalat Isya’, ada surau yang mengisinya dengan pengajian kitab Sullam-SafĂ®nah , praktek shalat dan lain se